SahabatArtikel Belum lama ini, publik Indonesia dihebohkan dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat terkait dengan pemikiran sosok ulama sufi Aceh, Abuya Amran Waly al-Khalidi. Ia tidak lain adalah seorang ulama sufi, mursyid tarekat naqsyabandiyah khalidiyah, sekaligus pendiri Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf Indonesia (MPTT-I). Melalui Fatwa MUI Nomor 72 tahun 2023, institusi quasi pemerintah itu menyatakan, bahwa, mengenai pokok permasalahan yang ditujukan kepada MPTT-I asuhan Abuya Amran Waly al-Khalidi dinyatakan sesat dan menyesatkan.
Polemik tidak berhenti di situ saja, pada Koran Waspada, edisi 14 November 2023, terdapat saudara Dr. H. Muhammad Nasir, Lc, MA, menulis opini dengan judul “Gagal Memahami Tafsir Surah al-Ihlas Versi al-Jilli.” Baik fatwa MUI Pusat maupun opini dimaksud seolah menggiring sekalus menjustifikasi pemikiran tasawuf Abuya Amran Waly al-Khalidi mengenai pokok persoalan benar-benar dianggap sesat dan menyesatkan.
Penggiringan opini demikian ini jelas-jelas merugikan pihak MPTT-I maupun pihak lain yang memiliki pemikiran yang sama dengan Abuya Amran Waly al-Khalidi dengan MPTT-I. Karena, pokok persoalan yang menjadi polemik antara lembaga pseudo-pemerintah, yakni MUI Pusat maupun MUI Sumatera Utara dengan MPTT-I Aceh tidak murni berdiri sendiri. Sebab, pemikiran MPTT-I yang disuarakan Abuya Amran Waly al-Khalidi, di kalangan penganut sufi juga banyak diikuti sekaligus dibenarkan.
Atas polemik di atas, perlu kiranya terdapat second opinion dalam porsi memberi alternatif pemikiran untuk menyimbangkan narasi berupa fatwa MUI Pusat maupun opini yang hadir dari arus utama ini. Second opinion ini dirasa penting sebagai hak jawab, bukan hanya mewakili MPTT-I maupun Abuya Amran Waly al-Khalidi saja. Lebih dari itu, pokok persoalan yang dipolemikkan MUI Pusat maupun MUI Sumatera Utara juga berimbas kepada banyak pengikut ordonasi sufi maupun tasawuf yang merasa dirugikan dengan lahirnya fatwa MUI maupun opini diatas.
Pangkal Polemik
Lahirnya fatwa MUI Pusat maupun MUI Sumatera Utara didasarkan atas tafsir Abuya Amran Waly al-Khalidi melalui MPTT-I terhadap Kul Huwa Allah Ahad. Dalam menafsirkan ayat dimaksud terdapat perbedaan pendapat maupun metode tafsir di antara kedua pihak. Pihak MPTT-I yang merepresentasikan kalangan sufi menggunakan metode tafsir isyari (tersirat). Sedangkan pihak MUI menggunakan metode tafsir ibari (tekstual) yang lazim digunakan di kalangan ulama syariat (fiqih). Dari penggunaan metode saja telah berbeda. Karenanya, tidak mengherankan apabila menghasilkan perbedaan tafsir atau pendapat yang berbeda pula.
Dengan menggunakan metode tafsir isyari, MPTT-I dalam menafsirkan ayat dimaksud berkesimpulan, bahwa, makna ayat tersebut: “Katakan wahai Muhammad, Dia (Muhammad) itu adalah Allah itu Esa.” Sedangkan MUI kukuh berpendapat dengan menafsirkan ayat yang sama sebagaimana tafsir pada umumnya, yakni: “Katakan Wahai Muhammad, Dia (Allah) itu Esa.” Di sinilah awal mula polemik berkepanjangan.
Pokok polemik ada pada tafsir terhadap dhamir (kata ganti subyek) huwa. Dalam tata bahasa arab (nahwu), MPTT-I menafsirkan dhamir huwa disebut sebagai dhamir ghaib (tidak kelihatan subyeknya). Karena itu, dhamir huwa dikembalikan kepada Muhammad sebagai khitab (orang yang dituju). Konsekwensinya, huwa itu kembali kepada Muhammad, bukan kepada Allah. Sedangkan bagi MUI, dhamir (kata ganti subyek) huwa itu dikembalikan kepada Allah.
Pendapat atau tafsir MPTT-I yang disimbolisasikan kepada Abuya Amran Waly secara tegas dinyatakan dan didasarkan atas karya ulama sufi besar, yakni Syekh Abdul Karim al-Jilli dalam kitab al-Insan al-Kamil. Sementara, oleh MUI Pusat secara tegas dinyatakan, bahwa, karya al-Jilli itu sebagai salah satu kitab muktabarah dan dapat menjadi referensi umat Islam, khususnya di kalangan pengikut tasawuf. Selain itu, pendapat atau tafsir MPTT-I ini bukan rahasia lagi juga diakui dan diikuti di kalangan banyak guru atau mursyid sufi di Indonesia maupun kawasan dunia IsIslam lainnya sebagai khazanah intelektual Islam.
Di kalangan para ulama sufi falsafi yang juga diikuti oleh Abuya Amran Waly dalam menafsirakan kul huwa Allah Ahad ditafsirkan sebagai “katakan wahai Muhammad, bahwa, dia (Muhammad) itu Allah. Pendapat MPTT-I secara tegas dan jelas terdapat dalam kitab al-Insan al-Kamil hal. 54-62. Atas dasar ini, justeru yang patut dipertanyakan adalah analisis saudara Dr. Muhammad Nasir, Lc, MA yang ia nyatakan tidak menjumpai penjelasan mengenai dhamir huwa dalam kitab al-Insan al-Kamil dimaksud. Patut untuk diragukan, apakah ia benar-benar telah membaca karya al-Jilli itu atau belum.
Pada hal. 54-62 dalam karya al-Jilli, sebagaimana sering kali dinyatakan oleh MPTT-I maupun Abuya Amran Waly, bahwa, penjelasan mengenai “katakan wahai Muhammad, dia (Muhammad) itu Allah” dalam konteks level (maqamat) ihsan, bukan level syariat. Artinya, makna Muhammad itu Allah bukan merujuk kepada jasad (fisik atau materi). Itu pula dijelaskan dalam karya al-Jilli masih di halaman yang sama itu. Dalam ajaran ihsan, hakekat Muhammad memang tidak lain adalah wujud Allah itu sendiri. Selanjutnya, dari penjelasan hakekat Muhammad itu Allah berkembang kepada hakekat manusia, bahkan alam semesta (juga) tidak lain adalah wujud tajalli (penampakan) Allah. Sayangnya, sampai pada pemahaman ini, pihak MUI berhenti. Inilah yang menjadi permulaan polemik.
Dalam pandangan ulama sufi, penjelasan mengenai Muhammad itu Allah tidak lain hanyalah metafora, kiasan atau hekekat. Rasionalisasi doktrin tersebut lebih menegaskan, bahwa, dalam diri Muhammad maupun manusia terdapat asma’ (nama-nama), sifat, af’al, maupun dzat Allah. Hakekat wujud Allah dapat kita kenali dan ketahui karena melekatnya keempat bagian dalam diri Muhammad maupun manusia pada umumnya. Tanpa adanya Muhammad maupun manusia, wujud Allah sampai kapanpun tidak akan pernah dikenali oleh siapapun. Begitulah para ulama sufi menjelaskan tentang hakekat Allah dalam wujud Muhammad, bahkan manusia.
Ortodoksi Tafsir Islam ala MUI
Fenomena keluarnya fatwa MUI Pusat atas laporan sepihak MUI Sumatera Utara terhadap pemikiran MPTT-I atau Abuya Amran Waly secara structural menunjukkan hegemoniknya lembaga kuasi negara ini. MUI seolah hadir di tengah-tengah umat sebagai lembaga pemegang otoritas tunggal terhadap tafsir keIslaman. Padahal, sebelum MUI Sumatera Utara membuat laporan kepada MUI Pusat, beberapa utusan telah datang ke pesantren Abuya Amran Waly untuk meminta tabayun (klarifikasi) atas tafsir surat al-Ihlas yang polemik itu. Para utusan MUI Sumatera Utara di hadapan pendiri MPTT-I menyatakan baru memahami tafsir dimaksud seraya menerima pokok persoalan.
Namun, di kemudian hari, atas desakan MUI Sumatera Utara, keluarlah fatwa MUI Pusat yang pada subtansinya menyalahkan tafsir MPTT-I dianggap sebagai sesat dan menyesatkan. Keluarnya fatwa MUI Pusat itu terlihat dengan jelas bersifat sepihak. Lembaga sebesar MUI yang posisinya sebagai kuasi atau pseudo state (negara) tidak sepantasnya mengeluarkan berbagai fatwa tanpa dibarengi proses check and re-check terhadap fakta di lapangan maupun proses tabayun (klarifikasi) lainnya. Lahirnya berbagai fatwa secara sepihak oleh MUI tidak mengurai masalah, justeru berimplikasi negatif secara sosial-politik maupun keagamaan di level grass-root.
Umat pada level grass-root masih belum dapat membedakan tentang arti fatwa yang sesungguhnya tidak lebih hanya sekedar pendapat yang sifatnya tidak mengikat. Suatu fatwa hanya mengikat bagi kalangan atau kelompok tertentu yang meminta fatwa. Artinya, fatwa MUI bisa saja berbeda dengan fatwa Ormas semacam Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perti, al-Wasliyah, dan sebagainya. Pemahaman demikian ini belum sampai pada level kognisi umat. Karena itu, begitu fatwa MUI Pusat tersebut sampai di meja MUI Sumatera Utara, dalam waktu singkat, diperbanyak kepada MUI di level kabupaten, kecamatan, para simpul ulama, bahkan dipublish di berbagai media sosial.
Peran-peran MUI di berbagai level demikian ini dirasa berbahaya bagi keutuhan umat. Di satu pihak, MUI tidak hadir dalam mengyomi umat, justeru memecah belah umat. Selain itu, tanpa disadari, institusi terhormat seperti MUI hadir sebagai pemegang monopoli tafsir atas Islam sekaligus menjadi institusi menjustifikasi ortodoksi ajaran Islam. Konsekwensinya, setiap pendapat maupun pemikiran yang sifatnya ortopraksi dan tidak sesuai dengan tafsir mereka dianggap bid’ah, sesat dan menyesatkan. Cara pengambil kebijakan melalui lahirnya berbagai fatwa yang demikian ini jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi perbedaan sebagai kekayaan khazanah intelektual Islam.
Penulis : Rubaidi
Editor : Admin1
Sumber Tulisan : Prof. Dr. Rubaidi, M.Ag, Dosen dan Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya