Sahabatnews.com | Usulan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk dilakukan revisi pada UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), bukan hal mendesak untuk dilakukan.
Pakar Hukum Tata Negara Mochamad Ali Syafaat menilai, revisi terhadap UU TNI justru sangat berbahaya bagi demokrasi. Hal ini, mengingat salah satu tujuan revisi UU TNI adalah untuk membuka peluang menempatkan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil di kementerian/lembaga negara.
Dia mengingatkan, kosep menempatkan prajurit TNU di lembaga sipil pernah terjadi di era Orde Baru melalui dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Di awal reformasi 1998, demi keberlangsungan demokrasi maka doktrin dwifungsi ABRI itu telah hapus.
“Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil melalui revisi UU TNI dapat membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI (sekarang TNI) dan hal itu tidak sejalan dengan semangat demokrasi,” kata Syafaat pada diskusi publik bertema “Menyoal Agenda Revisi UU TNI dan Rencana Pembentukan Dewan Keamanan Nasional”, Selasa (30/8).
Syafaat yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini menambahkan, revisi UU TNI akan berpotensi melemahkan profesionalisme militer itu sendiri karena fokus dan tugas militer akan terpecah.
“Nantinya TNI tidak hanya mengurusi masalah pertahanan tapi juga masalah sosial politik hukum dan keamanan,” katanya.
Sementara itu, Ketua LBH Malang Daniel Siagian menambahkan, revisi ini selain akan membahayakan kehidupan demokrasi, juga menjadi ancaman bagi hak asasi manusia.
Menurutnya, revisi UU TNI yang belakangan disusul dengan rencana perubahan Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) menjadi Dewan Keamanan Nasional (Wankamnas atau DKN), membuka ruang kembali terciptanya rezim yang otoratian.
“Pemerintah harusnya fokus melakukan revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Bukan melakukan revisi UU TNI,” tandasnya.
Penulis: Sahabatnews.com
Editor: Admin7